Pada abad
pertengahan sebelum revolusi industri, merek telah dikenal dalam berbagai
bentuk atau istilah sebagai tanda pengenal untuk membedakan milik seseorang
dengan milik orang lain. Didahului oleh peranan para Gilda yang memberikan
tanda pengenal atas hasil kerajinan tangannya dalam rangka pengawasan barang
hasil pekerjaan anggota Gilda sejawat, yang akhirnya menimbulkan temuan atau
cara mudah memasarkan barang (Harsono Adisumarto, 1990:44-45). Di Inggris,
merek mulai dikenal dari bentuk tanda resmi (hallmark) sebagai suatu sistem
tanda resmi tukang emas, tukang perak dan alat-alat pemotong yang terus dipakai
secara efektif bisa membedakan dari penghasil barang sejenis lainnya (Muhammad
Djumhana & Djubaedillah, 1993:117).
Persoalan merek sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Dalam sejarah
perundang-undangan merek, dapat diketahui bahwa pada masa kolonial Belanda
berlaku Reglemen Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Staatblad 1912
Nomor 545 jo Staatblad 1913 Nomor 214. Pada masa penjajahan Jepang, dikeluarkan
peraturan merek, yang disebut Osamu Seire Nomor 30 tentang Pendaftaran cap
dagang yang mulai berlaku tanggal 1 bulan 9 Syowa (tahun Jepang 2603. Setelah
Indonesia Merdeka (17 Agustus 1945), peraturan tersebut masih diberlakukan
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya,
sejak era kebijakan ekonomi terbuka pada Tahun 1961 diberlakukan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang
menggantikan peraturan warisan kolonial Belanda yang sudah dianggap tidak
memadai, meskipun Undang-Undang tersebut pada dasarnya mempunyai banyak
kesamaan dengan produk hukum kolonial Belanda tersebut (Saidin, 1995: 249-250).
Perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Merek telah mengalami perubahan,
baik diganti maupun direvisi karena nilainya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan dan kebutuhan. Pada akhirnya, pada tahun 2001
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Undang-Undang
Merek ini merupakan hukum yang mengatur perlindungan merek di Indonesia.
Undang-Undang tersebut merupakan produk hukum terbaru di bidang merek sebagai
respon untuk menyesuaikan perlindungan merek di Indonesia dengan standar
internasional yang termuat dalam Pasal 15 Perjanjian TRIPs sebagai pengganti UU
sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek.
Berdasar Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, dinyatakan
bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsur merek,
yaitu:
1. Syarat utama merek adalah tanda yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam perdagangan barang atau jasa.
2. Tanda yang dapat menjadi simbol merek terdiri dari unsur-unsur,
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut.
Sehubungan dengan definisi merek tersebut, di Australia dan Inggris,
definisi merek telah berkembang luas dengan mengikutsertakan bentuk dan
tampilan produk
di dalamnya. Di
Inggris, Perusahaan Coca Cola telah mendaftarkan bentuk botol sebagai merek.
Perkembangan ini mengindikasikan kesulitan membedakan perlindungan merek dan
desain industri. Di beberapa negara, suara, bau, dan warna dapat didaftarkan
sebagai merek (Baca. Tim Asian Law Group,2001:157) Perkembangan ini tentu akan
menimbulkan persoalan tersendiri yang tidak akan dibahas lebih lanjut dalam
tulisan ini.
Dalam merek dikenal adanya hak eksklusif sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu hak eksklusif
yang diberikan negara kepada pemilik merek. Secara umum hak eksklusif dapat
didefinisikan sebagai ‘hak yang memberi jaminan perlindungan hukum kepada
pemilik merek, dan merupakan pemilik satu-satunya yang berhak memakai dan
mempergunakan serta melarang siapa saja untuk memiliki dan mempergunakannya’.
Dengan demikian, hak eksklusif memuat dua hal, yaitu, pertama,menggunakan
sendiri merek tersebut, dan kedua, memberi ijin kepada pihak lain menggunakan
merek tersebut.
Hak eksklusif bukan merupakan monopoli yang dilarang sebagai persaingan
tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, tetapi justru merupakan hak yang bersifat
khusus dalam rangka memberi penghormatan dan insentif pengembangan daya
intelektual untuk sebuah persaingan sehat dan kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar