Jumat, 07 Februari 2020

Undang-Undang Merek


Pada abad pertengahan sebelum revolusi industri, merek telah dikenal dalam berbagai bentuk atau istilah sebagai tanda pengenal untuk membedakan milik seseorang dengan milik orang lain. Didahului oleh peranan para Gilda yang memberikan tanda pengenal atas hasil kerajinan tangannya dalam rangka pengawasan barang hasil pekerjaan anggota Gilda sejawat, yang akhirnya menimbulkan temuan atau cara mudah memasarkan barang (Harsono Adisumarto, 1990:44-45). Di Inggris, merek mulai dikenal dari bentuk tanda resmi (hallmark) sebagai suatu sistem tanda resmi tukang emas, tukang perak dan alat-alat pemotong yang terus dipakai secara efektif bisa membedakan dari penghasil barang sejenis lainnya (Muhammad Djumhana & Djubaedillah, 1993:117).
Persoalan merek sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Dalam sejarah perundang-undangan merek, dapat diketahui bahwa pada masa kolonial Belanda berlaku Reglemen Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Staatblad 1912 Nomor 545 jo Staatblad 1913 Nomor 214. Pada masa penjajahan Jepang, dikeluarkan peraturan merek, yang disebut Osamu Seire Nomor 30 tentang Pendaftaran cap dagang yang mulai berlaku tanggal 1 bulan 9 Syowa (tahun Jepang 2603. Setelah Indonesia Merdeka (17 Agustus 1945), peraturan tersebut masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, sejak era kebijakan ekonomi terbuka pada Tahun 1961 diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang menggantikan peraturan warisan kolonial Belanda yang sudah dianggap tidak memadai, meskipun Undang-Undang tersebut pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan dengan produk hukum kolonial Belanda tersebut (Saidin, 1995: 249-250).
Perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Merek telah mengalami perubahan, baik diganti maupun direvisi karena nilainya sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan. Pada akhirnya, pada tahun 2001 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Undang-Undang Merek ini merupakan hukum yang mengatur perlindungan merek di Indonesia. Undang-Undang tersebut merupakan produk hukum terbaru di bidang merek sebagai respon untuk menyesuaikan perlindungan merek di Indonesia dengan standar internasional yang termuat dalam Pasal 15 Perjanjian TRIPs sebagai pengganti UU sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek.
Berdasar Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, dinyatakan bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsur merek, yaitu:
1. Syarat utama merek adalah tanda yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan barang atau jasa.
2. Tanda yang dapat menjadi simbol merek terdiri dari unsur-unsur, gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Sehubungan dengan definisi merek tersebut, di Australia dan Inggris, definisi merek telah berkembang luas dengan mengikutsertakan bentuk dan tampilan produk
di dalamnya. Di Inggris, Perusahaan Coca Cola telah mendaftarkan bentuk botol sebagai merek. Perkembangan ini mengindikasikan kesulitan membedakan perlindungan merek dan desain industri. Di beberapa negara, suara, bau, dan warna dapat didaftarkan sebagai merek (Baca. Tim Asian Law Group,2001:157) Perkembangan ini tentu akan menimbulkan persoalan tersendiri yang tidak akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Dalam merek dikenal adanya hak eksklusif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek. Secara umum hak eksklusif dapat didefinisikan sebagai ‘hak yang memberi jaminan perlindungan hukum kepada pemilik merek, dan merupakan pemilik satu-satunya yang berhak memakai dan mempergunakan serta melarang siapa saja untuk memiliki dan mempergunakannya’. Dengan demikian, hak eksklusif memuat dua hal, yaitu, pertama,menggunakan sendiri merek tersebut, dan kedua, memberi ijin kepada pihak lain menggunakan merek tersebut.
Hak eksklusif bukan merupakan monopoli yang dilarang sebagai persaingan tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, tetapi justru merupakan hak yang bersifat khusus dalam rangka memberi penghormatan dan insentif pengembangan daya intelektual untuk sebuah persaingan sehat dan kesejahteraan masyarakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar